Dua Gaya: Om Zein Rangkul Rakyat, Abang Ijo Cari Panggung

0

PURWAKARTA – Kasus pungli parkir di Waduk Cirata yang viral baru-baru ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Lebih dari itu, kasus ini menjadi cerminan dua gaya kepemimpinan yang kontras di Purwakarta satu pendekatan humanis dan solutif, satunya lagi reaktif dan cenderung mencari popularitas.

Wakil Bupati Purwakarta, Abang Ijo Hapidin, lebih dulu muncul ke publik dengan pernyataan keras, mengapresiasi penangkapan para pelaku pungli, dan menyoroti keresahan masyarakat.

Namun, kritik muncul karena dianggap hanya reaktif; cepat marah di media sosial, tetapi minim solusi konkret. Tubagus Rizky Putra, dari Sapma Purwakarta, menyatakan, Abang Ijo tampil bak penegak keadilan di kamera, tapi setelah kamera mati, tak ada penyelesaian. Ia marah-marah, tapi tidak memberi jalan keluar bagi warga yang terdesak ekonomi.

Gaya kepemimpinan ini, menurut Tebe, begitu tokoh pemuda itu kerap disapa, hanya menimbulkan ketakutan sesaat, tanpa perbaikan jangka panjang. Rakyat butuh pemimpin yang mendengar dan membantu, bukan sekadar mencari sensasi viral.

Berbeda dengan Abang Ijo, Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, memilih pendekatan yang lebih lembut dan empatik. Dalam video viral, ia terlihat duduk bersama para pelaku pungli, menunjukkan sikap penuh kasih sayang.

“Saya ini ibarat bapak, dan kalian semua anak-anak saya. Mau anak ini salah, tetap saya cinta. Tapi saya ingin anak saya berubah, jadi lebih baik,” kata Om Zein.

Lanjut Tebe, dalam kesempatan bersama para pelaku Om Zein menawarkan solusi berupa bantuan sementara, pelatihan, dan penempatan kerja, alih-alih hanya menyalahkan para pelaku yang mengaku terpaksa melakukan pungli karena kesulitan ekonomi.

Pendekatan humanis Om Zein menuai banyak pujian. Warga melihat pemimpin yang hadir bukan hanya di depan kamera, tetapi juga saat rakyat benar-benar membutuhkan pengertian dan solusi. Tebe menambahkan, “Ini perbedaan nyata antara pemimpin yang marah karena ingin tampil, dan pemimpin yang tenang karena ingin menyembuhkan,” ujarnya.

Di tengah hingar-bingar politik pencitraan, kasus Waduk Cirata menjadi ujian nyata bagi kepemimpinan di Purwakarta. Rakyat kini memiliki pilihan yang jelas: pemimpin yang berempati dan solutif, atau pemimpin yang hanya pandai beretorika dan mencari popularitas. Pilihan itu, pada akhirnya, akan menentukan masa depan Purwakarta.

( Dwi Joko Waluyo)