Komisi I DPRD Sulut Akan Panggil BPN Sulut Gara-gara Menteri ATR/BPN Mengatakan Ini

0

SULUT – Komisi I DPRD Sulut akan jadwalkan memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah Sulawesi Utara.

Anggota Komisi I DPRD Sulut Henry Walukow menjelaskan perihal Pemanggilan tersebut untuk meminta penjelasan terperinci terkait dengan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.

Dalam pemberitaan sejumlah media massa, Nusron Wahid menyampaikan pemerintah akan mengambil alih lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.

“Membutuhkan penjelasan terperinci karena sampai sejauh ini kami mengetahui ini dari media massa. Agar bisa dinformasikan dan disosialisasikan kepada warga, menghindrari kesalahpahaman,”lugas Henry Walukow,Selasa (15/07/2025).

Untuk diketahui, Nusron menyampaikan pemerintah akan mengambil alih lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.

Kebijakan ini diberlakukan terhadap tanah yang sudah besertifikat namun tidak digunakan untuk aktivitas ekonomi atau pembangunan apa pun.

“Terhadap yang sudah terpetakan dan besertifikat, manakala sejak dia disertifikatkan dalam waktu dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan apa-apa atau dalam arti tanah tersebut tidak didayagunakan kemanfaatannya, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan,” kata Nusron.

Ia menuturkan proses peringatan dilakukan secara bertahap hingga tanah tersebut bisa ditetapkan sebagai tanah telantar.

Tahapan dimulai dari pemberitahuan awal, lalu surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Setelah itu, jika dalam kurun waktu total 587 hari sejak surat pertama tidak ada perubahan, tanah tersebut ditetapkan sebagai objek land reform.

Land reform atau reforma agraria adalah kebijakan pemerintah untuk mendistribusikan kembali tanah kepada masyarakat, terutama kelompok yang tidak memiliki atau kekurangan lahan.

“Langkah pertama adalah BPN kirim surat. Tiga bulan dikasih kesempatan. Tiga bulan masih tidak ada aktivitas, kirimi surat, peringatan pertama. Tiga bulan lagi dikirimi surat, tidak ada keterangan lagi, peringatan kedua,” ujarnya.

“Tiga bulan lagi, masih tidak ada aktivitas, dikasih kesempatan lagi, tiga bulan lagi, masih tidak ada aktivitas, dikasih waktu enam bulan untuk melakukan perundingan. Masih tidak ada aktivitas lagi, maka pemerintah menetapkan itu menjadi tanah telantar,” jelasnya.

Nusron menyebut proses tersebut secara keseluruhan memakan waktu dua tahun ditambah 587 hari atau hampir empat tahun sebelum tanah resmi dikategorikan sebagai telantar.

Ia menambahkan saat ini dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat, terdapat 1,4 juta hektare yang berstatus sebagai tanah terlantar secara nasional dan menjadi bagian dari program reforma agraria.

Kebijakan ini berlaku untuk seluruh bentuk hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hingga hak pakai, tanpa pengecualian.

“Jadi misal bapak-bapak sekalian punya HGU atau punya HGB, sudah dua tahun tidak diapa-apakan, maka pemerintah bisa tetapkan jadi tanah telantar,” kata Nusron.

Keputusan ini diambil berdasar aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021, memungkinkan negara mengambil alih tanah terlantar, termasuk tanah hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha, jika tidak ada aktivitas ekonomi atau pembangunan selama periode tersebut.