Program Desa TASKIM dan Pendataan PPDs Jadi Langkah Nyata Lindungi Hak Dasar Masyarakat Tak Berdokumen di Kota Bitung

0

BITUNG—Kantor Imigrasi Kelas II TPI Bitung mengambil langkah penting dalam menangani keberadaan masyarakat keturunan Filipina atau Persons of the Philippines Descent (PPDs) yang selama ini tinggal di wilayah Sulawesi Utara, khususnya di Kota Bitung. 

Kegiatan penanganan ini secara resmi dimulai dalam sebuah seremoni di lantai 4 Kantor Wali Kota Bitung dan dihadiri oleh berbagai unsur penting, mulai dari pemerintah daerah, instansi vertikal, hingga lembaga penegak hukum.

Acara tersebut dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Sulawesi Utara, Ramdhani, yang menegaskan bahwa penanganan PPDs bukan semata-mata urusan administratif, tetapi menyentuh sisi kemanusiaan yang mendalam. 

Ramdhani menekankan pentingnya memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang selama ini hidup dalam ketidakjelasan status kewarganegaraan, tanpa akses yang memadai terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya.

“Langkah hari ini adalah bagian dari komitmen kita untuk menghadirkan tata kelola keimigrasian yang tertib, humanis, dan adil. Kita hadir untuk mereka yang telah lama terpinggirkan, bukan karena pilihan, tetapi karena celah hukum dan sejarah,” ujar Ramdhani saat diwawancarai sejumlah media, Rabu (13/8/2025)

Program ini juga mencakup peluncuran Desa Imigrasi atau Desa TASKIM (Taat Status Keimigrasian). 

Sebuah inisiatif untuk memperkuat pengawasan dan edukasi keimigrasian hingga ke level desa dan kelurahan. 

Sebanyak 90 petugas pembinaan dikukuhkan untuk mengawal jalannya program ini.

Wali Kota Bitung yang diwakili oleh Asisten III, Drs. Benny Lontoh, MA., menyatakan dukungan penuh terhadap upaya ini. 

Ia menyebut program ini sebagai pendekatan nyata pemerintah untuk menjawab persoalan akar rumput yang kerap luput dari perhatian.

“Ini bukan hanya soal dokumen, ini soal kemanusiaan. Kami sangat mendukung sinergi ini dan berharap program ini berlanjut hingga semua warga keturunan Filipina yang belum memiliki dokumen bisa mendapat kepastian status,” ucap Benny.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi yang diteken pada 18 Juli 2025. 

Berdasarkan data terkini, Kantor Imigrasi Bitung telah berhasil mendaftarkan sebanyak 589 PPDs.

Secara geografis, hubungan antara Indonesia dan Filipina di wilayah ini memang telah berlangsung lama. 

Bahkan sebelum kedua negara merdeka, terjadi migrasi tradisional dua arah. 

Namun, karena kedua negara sama-sama menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis (berdasarkan keturunan), banyak anak hasil perkawinan lintas negara atau generasi ketiga keturunan Filipina yang akhirnya tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas.

Menurut Kepala Kantor Imigrasi Bitung, Ruri Hariri Roesman, hal ini telah berdampak serius pada kehidupan mereka.

“Tanpa dokumen kewarganegaraan yang sah, mereka tidak bisa mengakses sekolah, rumah sakit, bahkan sekadar bekerja secara formal. Ini persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan,” tegas Ruri.

Sebagai solusi, pihak Imigrasi meluncurkan program pendataan digital dengan sistem biometrik, termasuk penggunaan teknologi face recognition dan foto tiga sisi. 

Teknologi ini diharapkan mampu meningkatkan akurasi dalam proses verifikasi dan pencocokan data, serta menghindari duplikasi.

Dari pendataan ini, setiap individu akan diberikan kartu identitas sementara, yang kemudian diverifikasi lebih lanjut oleh perwakilan Pemerintah Filipina. 

Bila terbukti sebagai WN Filipina, maka mereka akan menerima paspor resmi. 

Bila terindikasi sebagai WNI, data mereka akan dikirim ke Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum dan HAM RI untuk proses penegasan status kewarganegaraan.

“Dengan teknologi dan sinergi lintas instansi ini, kami berharap tidak ada lagi masyarakat yang terpinggirkan karena masalah dokumen. Ini awal yang baik untuk mengakhiri masalah yang sudah berlangsung turun-temurun,” kata Ruri menambahkan.

Langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menyelesaikan persoalan undocumented persons di wilayah perbatasan, serta memperkuat kerja sama bilateral Indonesia–Filipina dalam hal keimigrasian dan hak asasi manusia.